Al
Imam al Alim al Alamah al Arif Billah Muhadits al Musnid al Mufasir
Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki al Hasni al Husaini as
Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin
adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman bahkan beliaupun menyebutkan
Qoddasallahu Sirrohu bukan Rodliyallohu ‘anhu seperti yang kebanyakan
disebutkan oleh para ikhwan. Walaupun secara dhohir Syekh Muhammad Alawy
Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah
mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Mereka
yang memperjalankan diri kepada Allah Azza wa Jalla akan saling
mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Rasulullah
adalah manusia yang paling utama, paling mulia, paling dekat dengan
Allah Azza wa Jalla. Beliau termasuk salah satu manusia yang telah
kasyaf.
Kasyaf
terbukanya hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah
membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan,
dan mengetahui hal-hal ghaib.
Mereka
yang kasyaf dapat mengetahui atau mengenal siapa-siapa yang melakukan
“perjalanan” kepada Sang Kekasih , Allah Azza wa Jalla. Inilah yang
dikiaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
perkataannya yang artinya “aku mendengar derap sandalmu di dalam surga”.
Bilal
ra memperjalankan dirinya kepada Allah ta’ala dengan amal kebaikan
berupa selalu menjaga wudhunya dan menjalankan sholat selain sholat yang
telah diwajibkanNya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat
Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling
besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam
aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya
Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling
besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik
itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan
shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR
Muslim 4497)
Dalam
suatu riwayat. ”Qoola A’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh
ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”.
artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah,
jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah?
“Rasullulah menjawab; “dzikrullah.”
Apa
yang dilakukan oleh Bilal ra, selalu menjaga wudhunya atau selalu
menjaga dalam keadaan bersuci adalah termasuk dzikrullah atau amal
kebaikan atau perbuatan yang dilakukan bukan atas diwajibkan oleh Allah
Azza wa Jalla namun atas kesadaran diri. Ini adalah salah satu bentuk
memperjalankan diri kepada Allah ta’ala atau mendekatkan diri kepada
Allah untuk mendapatkan cintaNya atau ridhoNya
Dalam
sebuah haditas Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang
kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (amal
ketaatan), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan kebaikan (amalan sunnah), maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah
mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk
mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan
tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya
untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta
perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk
melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana
keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir)
terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan
sakitnya. (HR Muslim 6021).
Dalam
hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada
dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada
seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu
Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan
pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin
itu melainkan ahlinya.
Sahl
Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang
bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan
memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan
mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka –
untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As
Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal
siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah :
Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan
mengamalkan apa yang diajarkan Allah kepada mereka. Mereka adalah
hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa.
Rasulullah
shallallahu aliahi wasallam : Sesungguhnya ada di antara hamba Allah
(manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para
Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat
karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari
shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga
kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu aliahi wasallam menjawab
dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang
dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan
karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka
berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut
seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para
manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab
shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu aliahi wasallam
“Sesungguhnya
diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk
golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah
‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan
syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan
mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang
saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak
bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya,
dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat
mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti
manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian
beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (QS Yunus [10]:62 )
Tentang derajat/tingkatan para Wali Allah telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Para
Wali Allah (kekasih Allah) adalah mereka yang telah mencapai muslim
yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau mereka yang telah berma’rifat.
Mereka
yang menjalankan tasawuf dalam Islam adalah mereka yang memperjalankan
dirinya kepada Allah atau mereka yang berupaya untuk mencapai muslim
yang ihsan atau berma’rifat
Apakah Ihsan ?
قَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu
dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link:http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan yakni
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Muslim
yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat
melihat Rabb atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari
melakukan sesuatu yang dibenciNya, Sehingga terwujud dalam berakhlakul
karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta’ala
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi
kalau ada yang mengaku-aku telah menjalankan tasawuf atau mengikuti
tharikat atau mengaku-aku telah berma’rifat namun tidak menjalankan
perkara syari’at seperti sholat lima waktu maka bisa dipastikan dia
telah berdusta atau tharikat yang diikuti adalah thariqat palsu.
Berkata
Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang
yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik
kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan
larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Pendapat
syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan
hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau
tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti
itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan
Al-Qur’an dan Hadits“.
Nasihat Imam Syafi’i ra,
“Berusahalah
engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (perkara syariat)
dan juga menjalani tasawuf (thariqat, hakikat dan ma’rifat) , dan
janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya
demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang
hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka
hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang
hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ? [Diwan Al-Imam
Asy-Syafi'i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ra
“Dia
yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya ,
sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia .
Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Wassalam
No comments:
Post a Comment