Tokoh Tokoh Ulama' Kelantan

Tokoh Tokoh Ulama' Kelantan
Sesungguhnya Ulama' itu Pewaris Nabi

Friday 4 May 2012

HAKIKAT SELAWAT

"Sesungguhnya orang-orang yang memaggilmu (berselawat) dari belakang bilik-bilik (masih terhijab batinnya) itu, kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan sekiranya mereka bersabar, sampai engkau (Nur Muhammad) keluar (menampakkan) kepada mereka, niscaya hal itu lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang" (QS 49 : 4-5)

Kebanyakan umat Islam, tidak tahu apa arti dari hakekat shalawat, tapi baru mengetahui bacaan shalawat yang berupa tulisan, padahal tulisan “allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad” bukanlah shalawat, ini hanya tulisan. Jika dibaca maka bunyinya –allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad- ini juga bukan shalawat, (ketika dibaca terdengar “bunyi bacaan shalawat”). Kita mbil contoh lain, dari huruf m a k a n kita mendengar bunyi –makan- dan ini bukan “makan”, karena huruf m a k a n (1), berbunyi –makan- (2), adalah action “makan”. Contoh lain, dari huruf s h a l a t (1) berbunyi –shalat- (2), ada action “shalat , diawali dengan takbir diakhiri dengan salam. Kembali ke s h a l a w a t (1), terbaca/berbunyi –shalawat- (2), actionnya…(3)? Jika dijawab : Itu…allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad…Lho itu kan bacaannya….Jadi ada hal yang harus kita pertanyakan. *Bagaimanakah action shalawat itu sehingga jika kita melakukan action itu secara otomatis melewati wilayah s h a l a w a t dan –shalawat.

Lewat action “makan” di dalamnya kita telah m a k a n dan –makan-. Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan untuk setiap konsep, pemahamnya selalu ada tiga. Jadi ada segitiga pemahaman konsep. * Untuk/kepada siapakah “shalawat” itu diberikan/ditujukan? Jika melihat bunyi ayat tentang shalawat…inna llaha wa malaikatahu yushalluna ‘ala nnabiyyi ya ayyuha lladzina amanu shallu ‘alayhi wa sallimu taslima…maka shalawat ditujukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.) …bacaannya ..allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad…Menurut pendapat saya pribadi….sangat pantas beliau mendapat penghargaan seperti itu…sangat tidak mengherankan jika orang-orang yang hidup di sekeliling beliau siap mati…siap berkorban…siap meninggalkan kemewahan dunia…anak..isteri..jabatan…..karena beliau memberi tuntunan sehingga para sahabat dapat “melihat” dapat “mendengar”, dan dapat “berbicara”. Apa yang bisa menandingi kebahagiaan tak terukur yang diakibatkan dari bisa “melihat”, bisa “mendengar, dan bisa “berbicara”.Jawabannya “tidak ada”. Ada ayat yang sangat “keras” bunyinya : (lebih kurang) Katakan :Jika bapakmu, anakmu, harta bendamu, niaga yang kau khawatirkan untung ruginya lebih aku cintai daripada aku maka rasakanlah azabku.* Lalu bagaimana beliau ber”shalawat” kepada “diri”nya sendiri?Beliau tidak akan membunyikan bacaan shalawat. Tapi beliau melakukan actionnya. Lalu sekarang ini apakah kita sudah bisa menulis a l l a h u m m a s h a l l i ‘ a l a m u h a m m a d w a ‘ a l a a l i m u h a m m a d, apakah kita sudah bisa membaca tulisan itu sehingga berbunyi –allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad , dan apakah kita sudah bisa actionnya…?

Catatan : Kita memang kadang sering lupa bahwa cahaya terang di ruangan ini karena ada bohlam dan bohlam bisa menyala karena ada gardu dan gardu ini tak berarti apa-apa jika tidak ada listriknya…dan tentang listrik ini kita sebenarnya hanya melihat “tanda-tanda adanya listrik/gejala listrik”. Saya tidak bisa melihat listriknya.

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikatnya bersholawat atas Nabi; hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah untuk Nabi dan ucapkan s a l a m dengan penghormatan kepadanya”.(QS Al-Ahzab 33:56)

Berdasarkan fiman Allah seperti tersebut diatas, umat Islam diperintahkan untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pada saat ini kita mengenal beberapa jenis kalimat sholawat yang dibuat oleh para Ulama, sesuai dengan keyakinan dan ajaran alirannya masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut :

“Semoga Allah memberi sholawat atas Nabi kita, “Muhammad” dan atas “Keluarga” serta Sahabat-sahabatnya”.

“Dan berikanlah rahmat Allah dan salam Allah atas Nabinya “Muhammad” dan atas keluarganya dan sahabatnya”.

“Ya Allah” berilah rahmat dan sejahtera atas penghulu Nabi kami Muhammad Rosulullah”.

Dalam dunia kaum Ma’rifatullah, terdapat sebuah hadits yang cukup terkenal, yaitu :

“Dia (Allah) berada dalam qolbu hambanya yang beriman”. (Al Hadits)

Qolbu yang tersebut dalam hadits Nabi di atas oleh kaum Ma’rifatullah dinamakan :
Mahligai–Nya Allah
Keraton-Nya Allah
Istana-Nya Allah
Masjid-Nya Allah
Rumah-Nya Allah

“Qolbu” itu disebut juga “Induknya Rasa” dan juga disebut “Babuning Roh atau Rohul Qudus atau Hu”.

Induknya Rasa atau “Rasanya Allah“ sama dengan Rasa Hakekat Muhammad. Sedangkan Babuning Roh itu sama dengan “Hakekat Muhammad” juga. Jadi “Rasa Allah” (Rosulullah) adalah Hakekat Muhammad yaitu “Hakekat Rosul Allah”.
.
jadi kesimpulannya adalah bahwa Qolbu itu adalah “Muhammad” sebagai makhluk pertama yang Allah ciptakan dari Diri-Nya sendiri atau disebut juga dengan “Sifatullah” atau “Nurullah” atau Jauhar Awal (Cahaya Pertama) atau Hu, yaitu “Hakekat Muhammad”.

Bermula manusia (Muhammad) itu rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya dan rahasia-Ku adalah sifat-Ku dan sifat-Ku tidak lain adalah Aku. ( Hadits Qudsi )
“ Aku (muhammad) berasal dari Allah dan Alam ini bersal dari Aku (Muhammad). ( Hadits Qudsi )

Telah datang akan kamu dari pada Allah itu “NUR”. (yaitu Nabi kita Muhammad SAW). (QS An-Nisa 4:174)

“…………. Dan dia (Hu) bersama kamu dimana saja kamu berada” (atau jikasudah menjadi insan yang suci, Dia selalu bersamamu). (QS Al-Mujadilah 58 : 7)

“…………. Kami lebih dekat denganmu, dibanding leher dan urat lehermu”. (QS Qaf 50:16)

TUJUAN BERSHOLAWAT.

Tujuan bersholawat dan mengucapkan salam atas Nabi Muhammad SAW, atas keluarganya, serta sahabat-sahabatnya, terbagi atas 2 (dua) pendapat yang dapat diartikan secara Syariat dan secara Hakikat yaitu :
1. Secara Syariat.
Umat Islam bersholawat dan mengucapkan salam atas Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan atas sahabat-sahabatnya, secara terperinci ditujukan kepada:
a. Rosul dan Nabi Muhammad bin Abdulah yaitu insan yang dibersihkan dan disucikan oleh Allah SWT. Dan diangkat sebagai Nabi dan Rosul terakhir yang sekarang sudah tidak ada lagi (wafat).
b. Keluarga Muhammad SAW yaitu : “Anak–istri-Ibu-Bapak-saudara dan famili yang terdekat. ( Mungkin juga termasuk pamannya yang bernama Abu Jahal yang selalu menjadi rintangan tugas Nabi ).
Kesemuanya itu sudah tidak ada lagi (wafat).
c. Para sahabat-sahabatnya yaitu yang diamksud : Abubakar r.a. – Umar – Usman r.a ‘Ali r.a. dsb. Ini pun keseluruhanya sudah tidak ada lagi. (wafat)

2. Secara Hakekat.
Umat Islam yang sudah menguasai ilmu syariat, Hakikat, Tarekat dan Ma’rifat juga bersholawat dan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka bersholawat bukan ditujukan kepada Nabi Muhammad bin Abdullah, juga tidak ditujukan kepada para keluarga dan para sahabat Nabi, tapi ditujukan khusus kepada:

“Nabi Muhammad selaku Hakekat Rosul Allah, sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan, makhluk yang tercinta dan termulia sesudah Allah, sebagai Rosul awal dan akhir yang diberi rahmat untuk semesta alam. (Ini pun tergantung sampai dimana tingkatan ilmu dan terbukanya hijab yang pernah dianugrahi Allah kepada hamba-hamba-Nya).

“ Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang diantara kamu, tetapi ia adalah utusan Allah dan penghabisan semua Nabi”.(QS Al-Ahzab 33:40)

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya ditengah-tengah kamu ada Rasul Allah “. ( QS Al Hujurot 49 :7 )

“ Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab ( Kitab Yang Bercahaya ), mengenalnya ( Nur Muhammad ) seperti mengenal anak-anak meereka sendiri dan sesungguhnya segolongan diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya “. ( QS Al Baqoroh 2 : 146 ) lihat juga QS Al An’am 6 : 20.

“Tugas Ku selesai setelah kiamat” (Hadits)

Disamping ditujukan khusus kepada Hakekat Muhammad ketika membaca sholawat, ada juga sebagian kaum Ma’rifatullah menyebutkan keluarga dan sahabat-sahabatnya Nabi dalam arti secara hakekat pula yaitu:

a. Yang dimaksud “Keluarga Muhammad” adalah mereka yang pernah mengenal kepada “Hakekat Muhammad” yaitu yang pernah ma’rifat kepada Dzat & Sifat Allah.
b. Yang dimaksud dengan para sahabat-sahabat Muhammad yaitu: mereka yang pernah Allah tunjukan jalan yang lurus; apakah mereka sudah sampai atau belum (tahap ma’rifat kepada Hakekat Rosul Muhammad atau disebut ma’rifat kepada Dzat dan sifat Allah). Hal ini tergantung dari keuletan, ketakwaan, keikhlasan, dan keimanan dalam menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar yang diridhoi Allah, sesuai dengan ajaran agama Islam.

“Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu (Muhammad) keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS Al-Hujarat 49:5).

(Bahagialah mereka jika mereka bersabar sampai Hakekat Muhammad menampakan dirinya).

Umat Islam yang sudah sampai ke martabat Ma’rifatullah, selalu bersholawat kepada Nabi karena perintah Allah dalam Al Qur’an, dengan tidak menuntut imbalan jasa atau pahala.

a. “Bahagialah orang yang bertemu dan mengenal Aku dan beriman kepada-ku”. (Mereka sudah mencapai derajat Isbatul yakin kepada Hakekat Muhammad).

b. “Bahagialah, orang yang tidak bertemu aku, tapi bertemu dengan orang yang mengenal kepada-ku (ma’rifat) dan beriman kepada-ku”.
Mereka baru mencapai derajat ilmul yakin terhadap adanya Hakekat Muhammad dalam dirinya sesuai dengan ajaran Islam (ilmu) yang diterima dari guru mursyidnya yaitu guru yang pernah bertemu dan mengenal Hakekat Muhammad.

Mereka sudah dapat dianggap sebagai para “sahabat Nabi Muhammad” dan apabila mereka tekun dalam menjalankan “tarekat”, dan lebih bersabar serta lebih mencintai Allah dan Rosul-Nya, Insya Allah dapat meningkat dari “sahabat” menjadi “Keluarga” Nabi Muhammad.

c. “Bahagialah, orang yang tidak bertemu dengan aku dan juga tidak mengenal dengan orang yang mengenal kepada-ku (ma’rifat), tapi beriman kepada ku.

Mereka yang tidak bertemu dengan hakekat Muhammad dan juga tidak bertemu dengan orang yang mengenal Hakekat Muhammad (ma’rifat), sehingga tidak dapat “Berguru” kepadanya, tetapi beriman kepada Muhammad dan berguru kepada Ulama Syariat dan bisa mendapat ilmu dari hasil membaca buku yang dikarang oleh para “Ulama” besar, mereka berarti sudah percaya menurut kabar adanya Hakekat Muhammad pada dirinya sendiri.

Pada tahapan tersebut, mereka sudah termasuk umat Muhammad dan mudah-mudahan dengan izin Allah, dibukakan hijab yang menjadi penghalang Qolbu sehingga lamabat laun semoga Allah memberikan atau memancarkan Nurrun Ala Nurrin dan meningkat menjadi insane atau sahabat Hakekat Muhammad.

“Rasa Allah” itulah Rasa Muhammad, itulah induknya Rasa atau disebut “Hakekat Muhammad” induknya rasa yang bersih dan suci disebut “Qolbu mu’min” yang menjadi mahligai Allah.

Induk Rasa (Hakekat Muhammad) itu terbagi atas 2 kategori:
Terdiri dari 5 (lima) rasa lahir dan 1 (satu) rasa lahir batin yang mencangkup kelima rasa tersebut tadi. Jadi jumlahnya ada 6 (enam) rasa.

Rasa ke 1 : Nyatanya dibadan kita yaitu rasa jasad,
Rosulnya Adam a.s. dan sahabat Rosulnya “Adam Kholifatullah”

Rasa ke 2 : Nyatanya dibadan kita yaitu rasa pendengaran /kuping, Rosulnya Ibrahim a.s dan sahabat Rosulnya “Ibrahim Habibullah”

Rasa ke 3 : Nyatanya dibadan kita yaitu rasa penglihatan / mata, Rosulnya Daud a.s dan sahabat Rosulnya “Daud Kholilullah”

Rasa ke 4 “: Nyatanya dibadan kita yaitu rasa mulut/lidah, Rosulnya Musa a.s dan sahabat Rosulnya “ Musa Kalamullah”

Rasa ke 5 : Nyatanya dibadan kita yaitu rasa mencium atai hidung, Rosulnya Isa a.s dan sahabat Rosulnya “Isa Rohullah”

Rasa ke 6 : Nyatanya dibadan kita yaitu rasa Qolbu, rasa lahir batin yang mencakup kelima (5) rasa tersebut diatas atau disebut “Hakekat Muhammad” atau “Rosul/Rasa Allah”
Rosulnya Muhammad Saw. Dan sahabat Rosulnya “Muhammad Rosulullah”.

Dengan adanya keterangan / penjelasan tersebut diatas, semoga pembaca sudah dapat menangkap atau sudah dapat menerima bahwa yang dianggap Hakekat “Keluarga” dari Hakekat Muhammad itu adalah para Rosul dan para Nabi.

Para Nabi itu adalah bersaudara seayah dan seibu, syareatnya berbeda-beda, sedangkan asal dan pokok agamanya satu ( Hadits ).

Adapun yang dimaksud “ Sahabat-sahabat “dari Hakekat Muhammad itu adalah “Insan yang benar-benar beriman dan sedang menjalankan Sabilillah, berusaha mencapai tingkat tinggi, hingga diberi anugerah Allah untuk dapat ma’rifat (bertemu, melihat dan mengenal) dengan Hakekat Muhammad atau disebut “Sifatullah” atau “Hakekat Syahadat”.

Dimana ada sifat disitu ada Dzat. Dimana ada Muhammad disitu ada Allah.

Merekalah yang dianugerahi Ilmu Laduni yaitu “NURRUN ALA NURRIN” (ma’rifatullah).
(Bapak Kuswwanto Abu Irsyad)

 Menggapai cahaya Ilahi

Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun

Tentang Martabat Tujuh


Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara. 


Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
1.1 ALAM AHDAH
Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma',belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi KhodimPada masa ini tida sifat,tida Asma dan tida Afa'al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di namakan KUNNAH ZAT.

1.2 ALAM WADAH
Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu "La Tak Yin Sani" - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak iaitu ada permulaannyan.Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau dipanggil juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat "Allahus Shomad" iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama martabat La Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi tidak zahirMaka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras'ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi di samping telah zahir pada hakikinya.

1.3 ALAM WAHDIAH
Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat "La takyin Awal", maka Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As'ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di namakan "Hakikat Insan."Martabat ini terkandung ia didalam "Lam yalidd" iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin.Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di dalam Ilmu Allah Iaitu dalam keadaan "Ainul Sabithaah". Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi.Dinamakan juga martabat ini wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah Dan Ilmu Allah.Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki dalam batin iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.

1.4 ALAM ROH
Pada peringkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa'alnya.Ianya menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia "Jisim Latiff" iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan "KholidTullah."Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Walam Yalidd". Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.

1.5 ALAM MISAL
Alam Misal adalah peringkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahsia diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah S.W.T., terus menyatakan diriNya melalui diri rahsiaNya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahsiaNya untuk di kandung pula oleh bapa iaitu dinamakan Alam Misal.Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani iaitu diri rahsia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan.Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa (misal).Alam Misal ini terkandung ia di dalam "Walam yakullahu" dalam surah Al-Ikhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya menjadi "DI", "Wadi", "Mani" yang kemudiannya di salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan "Maknikam" ketika berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)Perlu diingat tubuh rahsia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.

1.6 ALAM AJSAM
Pada peringkat ke enam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa , maka berpindah pula diri rahsia ini melalui "Mani" Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat "InssanulKamil" iaitu batang diri rahsia Allah telahpun diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi "KamilulKamil". Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan "InnsanulKamil".Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Kuffuan" iaitu bersekutu dalam keadaan "KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.Selepas cukup tempuhnya dan ketikanya maka diri rahsia Allah yang menjadi "KamilulKamil" itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.

1.7 ALAM INSAN
Pada alam ke tujuh iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam "Ahad" iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini.Maka pada alam Insan ini dapatlah di katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah - lengah lagi.

Share this post to other-http://sufiroad.blogspot.com/

Jalan untuk menjadi Sufi sejati

Oleh Shahidan Radiman

Pusat Pengajian Fizik Gunaan
Fakulti sains dan Teknologi , UKM
1.Latarbelakang
Cerita tentang pertemuan seorang professor universiti dengan seorang tukang sampan sangat terkenal (kebanyakannya dalam versi B. Inggeris). Secara ringkasnya , apabila ditanya samada tukang sampan itu pernah ke sekolah dan dijawab tidak, professor (yang ingin memberi  seminar di sebuah pulau)  itu mengatakan “ setengah kehidupan kamu sudah habis” . Namun apabila di tengah laut sampan itu bocor dan tukang sampan bertanya samada professor itu boleh berenang atau tidak dan dijawab tidak, maka dia berkata “ seluruh kehidupan kamu akan habis”. Begitu jugalah analogi di antara seseorang yang sudah biasa dengan ilmu duniawi  dan alam syariati (tanpa menceduk ilmu hakikat dan makrifat) akan binasa apabila berhadapan dengan alam ghaib dan alam  akhirat. Betapa banyak  ustaz dan ustazah yang mengajar ilmu agama , tetapi bila sampai ke bab gangguan jin dan syaitan , mereka tidak dapat menolong orang , malah mereka tidak dapat menolong diri sendiri apabila berlaku kerasukan dan sebagainya. Itu belum lagi dengan pengetahuan dan pengalaman  tentang alam malakut, jabarut dan sebagainya, apatah lagi alam ketuhanan. Mengapa fenomena ini berlaku dalam masyarakat adalah disebabkan kebongkakan golongan yang mengaku ulamak tetapi sebenarnya hanyalah ulamak dunia. Mereka merasa  hebat dengan ilmu agama yang ada dan segolong ijazah dari universiti terkemuka tertentu , sedangkan hebatnya ilmu terletak kepada taqwa. Mereka taksub dengan ilmu yang mereka pelajari dari buku dan professor , tidak kepada nasab sebenar ilmu Islam. Tidakkah kita pernah mendengar  hadith Rasulullah s.a.w “ Semua nasab akan terputus di Hari Akhirat , kecuali nasab ku”. Mereka lupa kepada ehsan sedangkan selepas Islam ada iman dan selepas iman , ehsan pula yang perlu dibangunkan. Nabi Muhammad s.a.w bukan saja perlu diteladani secara lahiriah tetapi juga secara batiniah dan ruhiyah ! Bibit-bibit  ketaksuban dalam beragama semakin jelas apabila timbul fahaman Wahabi yang begitu rigid , tidak menerima pemikiran dan fatwa orang lain serta secara sistematik ingin menghilangkan sejarah Nabi Muhammad s.a.w  agar manusia lalai dengan kemodenan dan melupakan tokoh ikutan ummat dari ingatan ummat !
2.Perjalanan Sufi Muhaqqiqin
Orang Sufi sangat menekankan pengetahuan alam ghaib dan  amalan batiniah dikeranakan Allah s.w.t itu melihat kepada amalan hati. Jika alam semesta yang fizikal ini diwakili oleh sebutir pasir di padang Sahara , maka alam ghaib itu diwakili oleh padang Sahara yang begitu luas. Keadaan orang Sufi itu begini:  ruh mereka menembus langit dan mengadap Allah s.w.t ketika solat ; ketika berzikir , mereka menghantarkan ruh mereka ke falak-falak yang telah ditetapkan  atas perintah Allah s.w.t dan bagi yang diiktiraf  , mereka menjalankan tugas di alam ghaib sebagai tentera dan utusan  Allah bagi membantu dan mengajar manusia . Dalam banyak tugasan ini “hanya yang khawasul khawas akan mengajar yang khawas”.  Dengan bimbingan guru yang mursyid, seseorang Sufi itu akan dapat memperjalani setiap ayat Al-Quran sehingga khatam –ini merupakan Sunnah yang telah dilaksanakn oleh para sahabat termasuk Saidina Umar r.a yang mengambil 4 tahun untuk mengkhatamkan al-Quran secara praktikal. Sebahagian dari ahli Sufi akan dapat kembali ke alam “alasti birobbikum , qolu bala syahidna”  , memahami rahsia Alif yang ghaib dalam awal Basmalah dan juga rahsia titik Ba dalam Basmalah seperti yang dihurai oleh Saidina Ali kar. dan sebagainya. Perjalanan sufi ini adalah ke arah insanul kamil ( yang dicapai oleh Rasulullah s.a.w dan para nabi a.s). Melaluinya Allah s.w.t mentajallikan sifat dan asma’Nya sehingga dirinya sendiri mempunyai banyak “nama rahsia”. Pentajalian itu adalah seperti yang disebut dalam al-Quran sebagai  “tusarriful ayat” .
Dalam menyampaikan ilmu kepada orang awam dan khawas, kaum Sufi tidak hanya menghafal ilmu dan menyodorkan semula ilmu itu kepada masyarakat , tetapi dapat menyerap roh ilmu dan apabila menyampaikannya mereka dapat menghantar manusia yang belajar dengan mereka ke makam mereka masing-masing. Berapa  banyak tabi’in yang mengajar di masjid-masjid pada zaman kekhalifahan Saidina Ali kar. diberhentikan dan ditegah mengajar ilmu agama  oleh beliau ( lihat riwayat ini dalam Qutul Qulub oleh Abu Talib Makki) – hanya beberapa tabiin sahaja yang dibenarkan meneruskan pengajaran mereka contohnya Imam Hasan Basri rah. Ini adalah diatas  kehendak Allah s.w.t seperti dalam ayat 24 surah Al Hajj:
Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk pula kepada jalan Allah yang terpuji.
Banyak yang mencari dan mengajarkan ilmu tetapi tidak mendapat faedah dari ilmu itu kerena tidak dapat mengamalkannya- dalam erti lain tidak bersiap-siap menerima rahmat Allah melalui jalan amal salih , seperti yang disebut dalam al-Quran 53:39 :
“ Bahawasanya manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. “
Perjalanan ahli Sufi beracuan/templat dengan perjalanan para anbiya , sebab perjalanan tersebut menuju insanul kamil sedangkan para anbiya merupakan insanul kamil yang wajib dicontohi. Oleh itu , akan ada perjalanan-perjalanan yang bernama Musawi, Isawi , Muhammadi dan sebagainya.
Kaum sufi sentiasa bersama Allah kerana mereka tidak pernah meninggalkan zikir pada setiap detik (dipanggil zikir nafas) – inilah sebenar-benar “zikran kathira”. Kehendak Allah sentiasa mendahului kehendak dan cita-cita makhluk , oleh itu biasanya bukti bahawa seseorang itu akan dapat beristiqomah dan diterima oleh Allah ialah si salik itu mendapat hadiah tongkat atau khirqah samada dari gurunya atau dari para nabi atau wali qutub , samada secara zahir atau batin (melalui mimpi). Kata “istiqomah” itu dihuraikan dalam Al-Quran dalam suku kata seperti “ aqimis solah , aqimud din ,aqimu wujuhakum” dan sebagainya. Selain daripada sentiasa menyucikan diri dengan pelbagai laku mahmudah , mereka sangat berhati-hati daripada terjerumus kepada perbuatan mazmumah sebab keterjerumusan itu berlaku secara perlahan-lahan dalam bentuk “langkah-langkah syaitan” ( khutuwatis syaitan , lihat Al An’am ayat 142). Mereka juga memahami dan mengenali hakikat sebenar penampilan (suwar) : contohnya  penampilan Al-Quran sebagai pemuda yang tampan ,solat Jumaat sebagai seorang pengantin  dan sebagainya. Imam Al Ghazali ada menyebutkan dalam Rasail ke-9 :
Seorang hamba tidak akan sampai ke surga , kecuali setelah melewati titian as-shirath. Kita tidak dapat berjalan di atasnya , kecuali seperti kita berjalan diatas jalan maknawi di dunia ini.
Renungkanlah !
Ibnu Arabi rah. dalam sebuah suratnya kepada Imam Fakhruddin al-Razi (dipetik dari Jawahir al Maani):
Ketahuilah saudaraku, hanya dua bentuk ilmu yang akan mengikuti manusia ke akhirat. Pertama , ilmu tentang Allah s.w.t. Kedua, ilmu tentang tempat-tempat (mawatin) di Hari Akhirat agar seseorang itu tidak gagal untuk mengenalpasti tajalliyat di sana sehingga dia tidak berkata “ Aku berlindung dengan Allah daripada mu” apabila al-Haqq menunjukkan DiriNya kepada manusia ketika itu.
3.Hakikat Mengenal Diri
Zikir adalah dengan lisan dan kalbu. Zikir lisan adalah untuk menghasilkan zikir kalbu. Zikir kalbu adalah untuk memperolehi muraqabah. Seterusnya muraqabah membawa kepada musyahadah. Ini adalah disebabkan pada peringkat muraqabah teguhlah keEsaan Allah dalam kalbunya dan dengan itu mudahlah melestarikan ibadah kepadaNya. Pada  peringkat musyahadah tersingkaplah melalui pandangan batinnya bahawa  cahaya kewujudan Keesaan Allah itu meliputi segala sesuatu dan oleh itu nampaklah sifat-sifat dan nama-nama Allah dalam segala ciptaanNya. Maka dia akan sentiasa menyaksikan cahaya Rububiyyah dan tersingkap kepadanya rahsia-rahsia keMahatunggalan Allah s.w.t itu.
Sabda Rasulullah s.a.w “ Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat, yaitu yang berbicara dan yang diam”. Yang berbicara itu adalah Al-Quran dan yang diam itu adalah kematian. Orang Sufi dapat “menghidupkan” suruhan ini dengan melaksanakan zikir berterusan dalam dua  cara iaitu secara lisan atau secara dalaman (dalam hati) dan sekaligus melaksanakan “kematian” dengan berada dalam keadaan fana’ atau  fana’ baqa’ billah ketika melaksanakan solat dan lain-lain ibadat .
Imam al Ghazali ada menyebutkan dalam Rasail ke-6 tentang ruh:
Ruh itu ada tiga. Jiwa yang arif , jiwa yang ahli ibadah dan jiwa yang zuhud. Jika ketiga jiwa itu berkumpul , kematian dan kehilangan tidak akan membahayakannya. Sebab ia sempurna naik ke a lam kesempurnaan. Ia akan memperoleh apa yang tidak ada di dalam surga berupa maqam-maqam ketinggian dan cahaya-cahaya kesucian di dalam Kehadiran Keabadiaan.
Inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang Sufi sebagai “indarobbihim” – di sisi Rabb mereka. Imam Ghazali seterusnya menghuraikan bahawa:
“…dibelakang kenikmatan surga , terdapat kenikmatan lain yang tidak terinderakan , kecuali dengan musyahadah . Sifat musyahadah tidak dapat diungkapkan kerana kelazatan melampaui batasan pengungkapan dan penafsiran. “
Mereka yang sudah mengenal diri akan dapat melakukan apa yang Saidina Ali kar dapat melalui. Kata beliau:
“ Tanyakanlah kepada ku tentang jalan-jalan langit , niscaya aku akan menghuraikannya kepada anda …………….”
4. Penutup
Ketika para professor dari universiti –universiti terkemuka dunia dan persatuan-persatuan sains dunia  membincangkan hasil tulisan para Sufi muhaqqiqin seperti Ibn Arabi, Sh. Abdul Qadir Jilani, Sh. Abu Hasan Shadzli dan Imam Ghazali dan kitab-kitab mereka ditelaah dan dikaji oleh pelbagai zawiyah dan pondok pengajian (untuk mencapai ilmul yaqin), seorang Sufi yang telah mencapai makamnya dapat menyatakan bahawa “ hari ini aku dapat belajar dengan sheikh-sheikh yang disebutkan tadi secara ladunni  serta dihuraikan kepada ku kitab-kitab tersebut “. Malah tidak mustahil untuk seseorang Sufi  belajar sendiri daripada guru semua guru iaitu Allah s.w.t sendiri. Seperti kata seorang arif, jika mimpi berjumpa seseorang nabi a.s itu pasti benar, apatah lagi bermimpi (dan belajar) dengan Allah s.w.t sendiri (untuk mencapai haqqul yaqin). Maka, makam ehsan yang dicita-citakannya itu akhirnya tercapai.
Wallahu a’lam bissawab.

Hakikat Kalimat Syahadat

Di masa awal sejarah Islam, para sahabat Rasulullah shalallallahu ‘alaihi wa sallam begitu rela mengorbankan jiwa dan raganya demi dinul Haq ini. Mereka tidak takut kepada ancaman dan cercaan orang-orang kafir Quraisy.Karena di dalam dada mereka telah tertanam tekad untuk memperjuangan kalimat Allah di muka bumi ini, kalimat yang menyatakan bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah, yaitu kalimatSyahadah . Misalnya sahabat Nabi yang bernama Habib, berani menghadapi siksaan berupa dipotongnya tubuh dia satu persatu oleh Musailamah. Selain itu, sahabat Nabi lainnya yang bernama Bilal bin Rabah, kuat bertahan menerima siksaan berupa ditindih oleh batu besar di tengah terik matahari yang menyengat. Dan sederetan sahabat lainnya. Mereka semua disiksa hanya karena mengatakan bahwa tiada Tuhan yang patut di sembah selainAllah. Mereka mempertahankan syahadatain.
Mengapa mereka bersedia dan berani mempertahankan kalimat syahadah? Ini disebabkan karena kalimat syahadah mengandung makna yang sangat dalam bagi mereka. Dan mereka memahami arti syahadah yang sebenarnya.
Pada dasarnya, kalimat syahadah mengandung hal-hal sebagai berikut:
1. Ikrar
2. Sumpah
3. Janji

Mayoritas umat Islam pada saat ini hanya memahami syahadah terbatas pada ikrar saja. Mereka memahami syahadah sebatas hanya diucapkan ketika seseorang ingin masuk ke dalam agama Islam, atau hanya diucapkan ketika beribadah seperti sholat, adzan, dsb. Di luar itu, syahadah tidak ada kaitannya sama sekali dengan unsur kehidupan lainnya. Itu yang dipahami oleh kebanyakan manusia saat ini.
Untuk itu mari kita lebih jauh memahami kalimat syahadah, dengan memahami kandungan yang ada di dalamnya.

Kandungan Kalimat Syahadah:
 
1. Ikrar (Al Iqraar) -
الاٍِْقْرَارُ Ikrar (iqrar) yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya. Artinya, Syahadah merupakan sebuah ikrar tentang Laa ilaaha illallah. Pernyataan kalimat ini adalah pernyataan yang sangat kuat, karena didukung sendiri oleh Allah subhanallahu wa ta’ala, malaikat, dan orang-orang yang berilmu (yaitu para Nabi dan orang-orang yang beriman). Sebagaimana dalam firman Allah subhanallahu wa ta’ala berikut ini:
�Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Menegakkan Keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.� (QS. Ali �Imran: 18).
Ketika kita mengucapkan kalimat syahadah, maka kita memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita ikrarkan itu. Sebenarnya, setiap manusia sudah mengikrarkan diri bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih dalam alam kandungan. Bahkan Allah sendiri yang meminta kesaksian tersebut dari jiwa-jiwa manusia yang akan dilahirkan ke dunia. Ini dilakukan agar di hari kiamat nanti tidak ada manusia yang mengatakan bahwa dirinya belum pernah tahu akan halnya keesaan Allah . Ini yang dinamakan dengan ikrar tentang Rububiyatullah (Allah sebagai Rabb) . Namun kebanyakan manusia lupa akan hal ini. Untuk itu Allah mengingatkan kita dalam ayat sebagai berikut: 
�Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): �Bukankah Aku ini Tuhan (Rabb)mu?� Mereka menjawab: �Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi�. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: �Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al A’raf: 172)
Selain pernyataan Laa ilaha illallah , pada kalimat Syahadatain juga terdapat sebuah pernyataan, berkaitan dengan pengakuan kita terhadap Nabi Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan utusan Allah(Muhammadur rasulullah) . Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad pun mengikrarkan diri mengakui kerasulan Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun mereka hidup sebelum kedatangan Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini terdapat dalam firman Allah subhanallahu wa ta’ala sebagai berikut:
�Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: �Sesungguhnya, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.� Allah berfirman: �Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?� Mereka menjawab: �Kami mengakui.� Allah berfirman: �Kalau begitu, saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.� (QS. Ali �Imran: 81).

2. Sumpah (Al-Qasam) -
الْقَسَمُ Selain bermakna ikrar, syahadah juga bermakna sumpah. Seseorang yang bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Artinya, Seorang muslim itu berarti siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam. Pelanggaran terhadap sumpah ini adalah kemunafikan, dan tempat orang munafik adalah neraka jahanam.
Orang munafik memiliki ciri khas, ada di antara mereka yang menyatakanSyahadah dengan berlebihan, padahal mereka tidak lebih dari pendusta.Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman:
�Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.� (QS. Munafiqun: 1-2)
Demikianlah orang-orang munafik. Seakan-akan beriman, tapi dibalik itu mereka sebenarnya berpaling. Karena saking berbahayanya, Allah banyak menjelaskan mengenai golongan munafik ini, salah satunya dijelaskan panjang lebar pada Al Qur�an surat An Nisaa ayat 138-145 .
Untuk mengetahui orang-orang yang melanggar sumpahnya (melanggar syahadah), bisa dilihat dari ciri-cirinya. Beberapa ciri mereka antara lain memberikan wala� (kesetiaan) kepada orang-orang kafir, memperolok-olok ayat-ayat Allah subhanallahu wa ta’ala, mencari kesempatan dalam kesempitan kaum muslimin, menunggu-nunggu kesalahan kaum muslimin, malas dalam shalat, dan tidak punya pendirian.
Setiap mukmin yang sumpahnya dipegang teguh, tidak akan memiliki sifat-sifat tersebut.
 
3. Janji (Al Miitsaaq) -
الْمِيْثَاقً Syahadah juga bermakna janji (miitsaaq). Artinya, setiap muslim adalah orang-orang yang berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah subhanallahu wa ta’ala, yang terkandung dalam kitabullah (Al Qur�an) maupun Sunnah Rasul.
�Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’ati”. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu).� (QS. Al Maidah : 5)
Ketika seseorang mengucapkan dua kalimat Syahadat , artinya dia telah berjanji. Dan janji ini harus diterima dengan sikap sam�an wa tha�atan (kami dengar dan kami taat) . Janji ini harus didasari dengan iman yang sebenarnya, yaitu iman terhadap Allah subhanallahu wa ta’alla, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadar baik maupun buruk .Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman:
�Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’at.” (Mereka berdo’a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.� (QS. Al Baqarah: 285).
Janji harus ditepati, tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap janji ini akan berakibat laknat Allah subhanallahu wa ta’ala. Dan Allah subhanallahu wa ta’ala memberikan kita pelajaran dari kisah orang-orang Yahudi, di mana mereka merupakan kaum yang selalu melanggar perjanjian, sehingga mereka dilaknat oleh Allah subhanallahu wa ta’ala. Mereka adalah kebalikan dari kaum muslimin. Ketika kaum muslimin mengucapkan �kami dengar dan kami taati� , kaum Yahudi justru mengatakan dengan lancang: �kami dengar tetapi tidak mentaati.� Hal ini Allah ingatkan dalam firman Allah subhanallahu wa ta’ala :
�Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati”. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: “Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat).� (QS. Al Baqarah: 93).
Kaum Yahudi adalah kaum yang jahat. Perbuatan jahat yang mereka kerjakan antara lain ialah menyembah anak sapi (mensekutukan Allah), membunuh nabi-nabi dan melanggar janji.

Demikianlah kandungan dari kalimat Syahadah , yaitu ikrar, sumpah, dan janji . Setiap orang yang sudah memahami dan mengamalkan Syahadahdengar benar, maka berarti dia telah mengamalkan Islam dan beriman. Karena iman merupakan dasar, dan merupakan hasil dari pemahamanSyahadah yang betul.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beriman. Amin.



Sumber article :
disalin dari http://www.hudzaifah.org/PrintArticle127.phtml

Hakikat dua kalimah Syahadah

Hakikat dua kalimah Syahadah

أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلَــــهَ إِلَّا اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Aku bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah pesuruh Allah.

Pengajaran :

1. Semua umat Islam sangat maklum kedududkan Dua Kalimah Syahadat. Sebagai rukun Islam pertama dalam senarai rukun-rukun Islam yang lima memberi isyarat betapa tinggi nilai Dua Kalimah Syahadat dalam Islam. Seseorang belum dianggap muslim / muslimat jika enggan mengucapkannya. Namun demikian, sampai dimanakah kepahaman umat Islam terhadap Dua Kalimah Syahadat ? Apakah makna perkataan Syahadat ? Apakah Rukun-Rukun Dua Kalimah Syahadat ? Tulisan ringkas ini hanya akan mendedahkan beberapa aspek saja dari Dua Kalimah Syahadat.

2. Syahadat pertama : ( أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ) : Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, disebut sebagai Syahadat Tauhid ; dan Syahadat kedua : ( ( وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ : Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah pesuruh Allah, disebut sebagai Syahadat Risalah. Jika seseorang hanya mengucap Syahadat Pertama, tetapi enggan mengucap Syahadat Kedua, maka dia belum layak dikatakan muslim atau muslimat. Sebab Ahli Kitab, sama ada Yahudi atau Nasrani juga percaya bahawa Allah tuhan mereka, tetapi mereka tetap kafir kerana enggan mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul yang terakhir.

3. Perakataan ( شَهَادَة ) : Penyaksian, diambil daripada perkataan ( أَشْهَدُ ) : Aku bersaksi atau aku naik saksi. Terjemahan ini sudah betul maknanya, sebab (شَاهِدٌ ) maknanya saksi. Sabda Nabi SAW ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ ) : Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi. Hanya saja umat Islam barangkali banyak yang masih kabur tentang “ apakah makna aku bersaksi “ yang terletak didepan ( لَاإِلَهَ إِلَّا الله ) dan ( مُحَمَّدٌ رَسُولُ الله ). Dan kerana perkataan ( أَشْهَدُ ) berasal daripada bahasa Arab, maka kita hendaklah merujuk ke dalam kamus bahasa Arab, apakah makna sebenar dari perkataan ( أَشْهَدُ ) : aku bersaksi itu.

4. Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya “ Ushul Al-Da’wah “ terdapat lima makna bagi perkataan ( أَشْهَدُ ) iaitu 1. ( أَعْتَرِفُ ) : Aku I’tiraf atau aku mengakui ; 2. ( أُقِرُّ ) : Aku berikrar atau aku berjanji ; 3. ( أَعْتَقِدُ ) : Aku beri’tiqad atau aku berkeyakinan ; 4. ( أَعْلَمُ ) : Aku berilmu atau aku mengetahui ; 5. ( أُبَيِّنُ ) : Aku menyatakan dalam bentuk sikap. Jadi apabila kelima-lima maknanya kita masukkan dalam terjemahan Dua kalimah Syahadat, maka makna panjangnya ialah sebagaimana berikut :

Aku mengakui, aku berjanji, aku berkeyakinan, aku mengetahu bahawa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad itu pesuruh Allah, dan selanjutnya aku nyatakan dalam bentuk tindak tanduk dan perlakuanku dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupanku.

5. ( أَعْتَرِفُ ) : Aku I’tiraf atau aku mengakui ; Jika seorang dokter pakar sudah diiktiraf oleh masyarakat atau orang ramai maka biasanya kita akan akur dan patuh dengan nasihat pakar tersebut. Nasihat pakar akan dipatuhi kerana kepakarannya. Segala suruhannya akan kita lakukan dan pantang larangnya akan dijauhi. Demikianlah sikap seseorang apabila berhadapan dengan pakar. Tetapi sayangnya, mengapa umat Islam yang sudah iktiraf atau membuat pengakuan terhadap Allah dan Rasul-Nya, kita lihat masih tidak patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, padahal Allah tidak pernah berbuat salah dan Rasul-Nya pula maksum tidak pernah tersilap. Sedangkan dokter walau bagaimanapun pakarnya, dia pasti pernah tersilap menentukan obat bagi pesakitnya.

6. ( أُقِــرُّ ) : Aku berikrar atau aku berjanji ; Di antara janji kita anak cucu Adam kepada Allah ialah tidak akan mematuhi syaitan sebab dia adalah musuh kita yang nyata. Firman Allah : Bukankah aku telah berjanji dengan kamu wahai anak cucu Adam agar kamu jangan menyembah syaitan, sesungguhnya dia bagi kau adalah musuh yang nyata. ( Yasin : 60 ). Malahan sejak alam roh lagi setiap insan telah berikrar bahawa Allah adalah Tuhan mereka. Oleh itu, bukankah setiap janji wajib ditepati ? Berapa banyak umat Islam yang telah mengucap Dua kalimah Syahadat tetapi lalai mentaati Allah dan Rasul-Nya ? Bukankah mungkir janji itu salah satu sifat orang-orang munafiq ?

7. ( أَعْتَقِدُ ) : Aku beri’tiqad atau aku berkeyakinan ; Perkataan I’tiqad sama dengan perkataan aqidah iaitu simpulan yang kokoh dan kuat. Jika simpulan tali tidak mudah dibuka atau dilerai, maka demikianlah jika sesuatu itu sudah menjadi I’tiqad atau aqidah seseorang maka ia tidak mudah goyang. Oleh itu, sampai dimanakah kesahihan keyakinan seseorang jika tidak terserlah dalam tindakan apa yang emnjadi keyakinannya ?

8. ( أَعْلَمُ ) : Aku berilmu atau mengetahui ; Antara makna saksi yang paling utama adalah ilmu atau pengetahuan. Hubungan antara saksi dengan ilmu sangat erat. Sebab seseorang pasti tidak mampu memberi sesuatu penyaksian tanpa ilmu pengetahuan. Maksudnya : Setiap orang yang sanggup untuk menjadi saksi bagi sesuatu kes di depan mahkamah tentu saja mestilah mengetahui perkara yang akan dipersaksikannya. Jika dia sanggup menjadi saksi hanya untuk membela kawannya, sedangkan dia sendiri tidak tahu perkara sebenarnya, maka dia boleh digolongkan sebagai “Saksi Palsu”. Oleh itu, jika anda telah meletakkan “ Aku bersaksi “ di hadapan perkataan Allah dan Muhammad, anda perlu bertanya : Sudah sampai dimanakan ilmu anda tentang Allah dan Muhammad ? Ataukah anda lebih kenal riwayat hidup dan biodata pembesar-pembesar Negara di dunia , bintang filem atau penyanyi ?

9. ( أُبَيِّنُ ) : Aku menyatakan dalam bentuk sikap. Setelah membuat pengakuan, janji, yakin, mengetahui siapa Allah dan Rasul-Nya lalu diikuti pula dengan tingkah laku dan perlakuan seharian yang menunjukkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Suruhan-suruhan-Nya akan dilaksanakan dan larangan-larangan-Nya pula akan dihindari. Dalam hal ini, berapa banyak umat Islam yang tidak mengotakan apa-apa yang sudah mereka katakan ? Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billah.

10. Itulah sebabnya para ulama Aqidah sepakat mengatakan bahawa Rukun Dua Kalimah Syahadat ada tiga. Iaitu : 1. Mengucapkannya dengan lidah ; 2. Membenarkannya dengan hati ; 3. Melaksanakannya dengan anggota. Itulah sebabnya jika Dua kalimah Syahadat hanya sudah diucapkan dengan lidah dan dibenarkan maksudnya di dalam hati tanpa ragu bahawa Allah Tuhannya dan Muhammad Rasulnya, masih belum lagi terpenuhi rukun syahadat jika dia tidak melaksanakan tuntutan Dua Kalimah Syahadat dalam kehidupannya. Berapa banyak umat Islam yang mengucap Dua kalimah Syahadat dengan fasih dan lancar serta faham pula maksudnya tetapi suruhan Allah dan Rasul tidak diperbuat malahan masih banyak yang bergelumang dengan maksiat.

11. Pendedahan ini tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan sesiapa. Hanya mengharap kiranya menjadi bahan renungan bagi setiap muslim dan muslimat. Sudah sampai dimanakah kita memenuhi tuntutan lima makna syahadah dan sudahkah dipenuhi atau belum ketiga-tiga rukum Dua Kalimah Syahadah ? Jika sudah sempurna Al-Hamdulillah, tetapi jika belum, marilah kita sama-sama berusaha untuk menyempurnakannya selagi peluang masih ada. Sebenarnya saya sudah menulis buku bertajuk : Hakikat Dua Kalimah Syahadat, sejak tahun 1983 lagi. Ia adalah buku pertama yang saya tulis sejak tiba di Malaysia mengingat betapa pentingnya tajuk tersebut. Pendedahan ini hanya sekelumit kandungannya. Buku setebal 222 halaman yang sedang diulang cetak itu juga mengandungi syarat-syarat Kalimat Tauhid dan perkara-perkara yang boleh membatalkan Dua Kalimah Syahadat. Jika anda ingin mendapat ulasan lebih lanjut silakan baca buku tersebut.



This entry was posted in Blog  :
http://drabdullahyasin.com/2011/03/29/hakikat-dua-kalimah-syahadah/

Kenapa Menengadahkan Tangan ke Langit Ketika Berdoa?

Kenapa Menengadahkan Tangan ke Langit Ketika Berdoa?

Oleh : Thoriq

Salah satu ulama Al Azhar, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi (1380 H) telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah (hal.61), beliau mengatakan,
”Jika ada yang mengatakan,’kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa?’”










Beliau menjawab pertanyaan itu dengan jawaban Imam At Thurthusi (529 H), ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din (5/34,35). Dalam jawaban itu, At Thurthusi memberikan dua jawaban:
Pertama:
Hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan-akan langit merupakan kiblat saat berdoa.
Kedua : 
Karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit.
Jawaban At Thurtusi di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Ibnu Qurai’ah (367 H), saat ditanya oleh Al Wazir Al Muhallabi (352 H), seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan,
“Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia (Allah Ta’ala)?
Ibnu Qurai’ah menjawab,
”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat-tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening-kening kami ke tempat berakhirnya jasad-jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang ke dua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala (yang maknanya),”Dan di langit rizki kalian dan apa-apa yang dijanjikan.”
(Ad Dzariayat: 22). Dan Allah Ta’ala berfirman (yang maknanya),
”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.”
(Thaha: 55).
_______________________
Dinukil dari Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cet 2 (2004) dengan tahqiq Syeikh Al Muhaddits Abdu Al Fattah Abu Ghuddah.

Sumber : Http://almanar.

Bahaya Taklid Dalam Tauhid


umat islam hanya mentauhidkan Allah yang esa dan tidak menyembah makhluk lain.


APABILA ditanya dari mana nas al-Quran dan sunnah yang menyebut pembahagian yang jelas bagi tauhid tiga serangkai iaitu tauhid uluhiah, tauhid rububiah dan tauhid asma' wa sifat, pendokongnya yang mengaku berpegang dengan al-Quran dan sunnah pun, teragak-agak mendatangkan hujah.
Lantas mendatangkan hujah-hujah berbentuk taklid iaitu WAMY, ulama-ulama lain dan silibus-silibus beberapa buah universiti yang menyokong. Itu sebenarnya taklid.
Kadang-kadang didatangkan nukilan al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq berkaitan dengan tafsiran perkataan 'ahlussunnah' sebab mahu bergantung dengan ulama silam Ahlussunnah, namun ditiadakan syarahan bahawa Imam al-Baghdadi sebenarnya mensyarahkan tauhid Sifat di dalam kitab tersebut apabila beliau mensyarahkanfirqah najiah (firqah yang selamat). Bahkan perkataan 'tauhid-tauhid sifat' dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal itulah antara sifat-sifat 20.
Lihat bagaimana Imam al-Baghdadi mensyarahkan pandangan Ahlussunnah dalam mentauhidkan sifat Allah SWT:
"Mereka ijmak bahawa tempat tidak meliputiNya (Allah SWT tidak bertempat) dan masa tidak mengikatnya, berbeza dengan firqah al-Hasyamiah dan al-Karamiah, yang mengatakan Allah memegang arasynya".
(Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, hal.256).
Dalam isu tauhid, amat merbahaya kita bertaklid. Sepatutnya didatangkan nas-nas yang jelas berkaitan pembahagian tiga serangkai tersebut bersesuaian sekiranya kita bersarjanakan al-Quran dan sunnah.
Kalau berdoa selepas solat secara berjemaah yang tidak ditunjuk oleh hadis secara jelas pun dituduh bidaah dan sesat oleh sesetengah orang (walau berdoa disuruh dalam al-Quran dan sunnah), apatah lagi isu pokok dan besar seperti tauhid.
Apabila ditanya, mana dalil al-Quran dan sunnah apabila anda mengatakan penyembah berhala bertauhid dengan tauhid rububiah (tanpa tauhid uluhiyah)? Lantas akan dinyatakan kata-kata si polan dan polan mengatakan perkara ini dan di sokong pula dengan ulama-ulama ini dan ini.
Persoalan saya: Kenapa tidak ada sepatah pun ayat al-Quran dan hadis atau kata-kata ulama-ulama Salafussoleh (tiga kurun pertama) mengenai perkara ini?
Memang benar ada ayat yang bermaksud:
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab: Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah SWT).
(al-Zukhruf: 87).
Dalil ini digunakan untuk menunjuk- kan orang-orang Musyrik (penyembah berhala) beriman dengan iman rububiah. (Mohd. Naim Yasin, hal.11).
Namun kenapa tidak dicantumkan dengan ayat selepasnya?
Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhammad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman.
(al-Zukhruf: 88).
Tidak pula al-Quran mahupun sunnah menyebut orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiah sahaja! Ini persoalan akidah, sepatutnya ada nasnya secara jelas.
Sebaliknya al-Quran mengatakan dengan jelas bahawa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah? Mana dalilnya sebab ini persoalan akidah?
Ini adalah taklid. Kenapa kita membenarkan taklid dalam soalan akidah sebegini? Kita amat tidak adil apabila membenarkan taklid pada persoalan akidah sebegini.
Lantas kemungkinan saya pula ditanya:
Apa dalil kamu dari al-Quran dan sunnah yang menyebabkan kamu mengkhususkan Sifat 20 untuk Allah SWT?
Maka saya berkata:
"Bahawasanya Allah SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, dan maha suci dari segala kekurangan. Sesungguhnya ketuhanannya melazimkan kesempurnaan mutlak secara khusus untuk ZatNya.
"Kemudian, kami memilih sifat-sifat terpenting daripada sifat-sifatNya yang maha sempurna dan kami menjelaskannya secara terperinci perkara-perkara dan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengannya
(Lihat al-Buti, 1992, Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyyah, h108).
Adalah satu fitnah sekiranya kami dikatakan menghadkan sifat Allah SWT kepada 20 sahaja!
Saya mungkin ditanya lagi:
Mana dalilnya dari al-Quran dan sunnah? Saya akan mengatakan bahawa semua sifat dua puluh itu ada dalilnya di dalam al-Quran dan sunnah. Kalau mahu diperincikan, boleh dilihat dalam semua buku yang mensyarahkan Sifat 20.
Saya ditanya lagi: Bukankan Sifat 20 itu susunan Muktazilah?
Saya berkata:
Sekiranya saudara membaca sejarah Islam silam, saudara akan memahami bahawa pada zaman Khalifah Abbasiah iaitu Ma'mun bin Harun ar Rasyid (198H-218H), al-M'tashim (218H-227H) dan al-Watsiq (227H-232H) adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Muktazilah.

Dalam sejarah Islam, dinyatakan terjadinya apa yang dinamakan 'fitnah al-Quran itu makhluk' yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan kaum Muktazilah.

Pada masa itu, Imam Abu Hassan al-Asy'ari muda remaja, dan belajar kepada seorang Sheikh Muktazilah, iaitu Muhammad Abdul Wahab al-Jabai (wafat 303H).

Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) melihat terdapat kesalahan besar kaum Muktazilah yang bertentangan dengan iktiqad (keyakinan) Nabi SAW dan sahabat-sahabat baginda, dan banyak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Lantas beliau tampil meninggalkan fahaman Muktazilah dan menongkah hujah-hujah kaum Muktazilah.
Kefahaman Masyarakat
Bermula dari itulah, Imam Abu Hassan al-Asy'ari melawan kaum Muktazilah dengan lidah dan tulisannya. Justeru, susunan tauhidnya bermula setelah dia berjuang menentang Muktazilah dan mengembalikan kefahaman masyarakat kepada al-Quran dan sunnah.
Di atas jalannya, ulama silam menelusuri, antaranya ialah Imam Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365H), Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (wafat 411H)., Imam al-Hafiz al-Baihaqi (wafat 458), Imam Haramain al-Juwaini (wafat 460H), Imam al-Qasim al-Qusyairi (wafat 465H), Imam al-Baqilani (wafat 403H), Imam al-Ghazali (wafat 505H), Imam Fakhrurazi (wafat 606H) dan Imam Izzuddin bin Abd Salam (wafat 660H). (Lihat Kiyai Sirajuddin Abbas (2008). Aqidah ahlussunnah wal Jamaah, h21-23).
Tidak pernah wujud pertelingkahan antara penghuraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan pengikut-pengikut mazhab fiqh yang empat.
Kemudian saya mungkin diperlekeh kerana pengajian sifat 20 ini bentuknya kaku, lantas contoh sindirannya ialah:
"Wujud maksud ada, lawannya tiada.... akhirnya semuanya tiada".
Saya katakan sememangnya cara perbahasan Sifat 20 kena diperbaharui dan diringkaskan.
Dalil-dalil al-Quran berkaitan sifat tersebut perlu lebih dipertekankan berbanding dengan dalil-dalil akal yang rumit-rumit yang mungkin zaman kita tidak memerlukannya.
Pada saya, mungkin penulisan seorang ulama Indonesia Kiai Sirajuddin Abbas bertajuk: Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, boleh digunakan untuk memudahkan kefahaman pembaca. Buku ini masih banyak dijual di toko-toko buku di Wisma Yakin, Kuala Lumpur.
Saya kemudian ditanya berkaitan dengan sahabat-sahabat saya yang mungkin belajar dan mengajar tauhid tiga serangkai ini?
Saya katakan pengalaman saya mendengar pensyarah-pensyarah dan sahabat-sahabat saya yang mengajar tauhid pecah tiga ini, ada di kalangan mereka tidak ekstrem, tidak sampai mengkafirkan/mensyirikkan golongan yang tidak sependapat.
Contohnya bila memperkatakan tawassul dan menziarahi kubur, ada di kalangan mereka menerimanya tanpa mengkafirkannya atau menyesatkannya.
Demikian juga persoalan penafsiran ayat-ayat sifat, ada yang tidak menerima/ tidak taklid bulat-bulat kenyataan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan lebih kepada menyerahkan kepada Allah SWT. Mereka lebih suka merujuk terus ke Ibn Taymiyyah berbanding Sheikh Abd Wahhab.
Di kalangan mereka (mengikut cerita adik saya ketika dia belajar di Universiti Yarmuk, Jordan), pensyarah Aqidahnya mengatakan: Kamu orang-orang Malaysia, ramai mengikut Ahlu sunnah aliran Asyairah.
Namun, tauhid yang diajarkan ini mengikut susunan Ibn Taymiyah kerana menjadi silibus Universiti ini (pada masa itu). Terserah kepada kamu mengikut keyakinan Asyairah itu (tanpa beliau menyesatkannya).
Mereka menyedari ramai ulama silam (sama ada muhadithin, fuqaha' atau mufassirin) dari kurun ke tiga Hijrah berpegang kepada huraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333H).
Walaupun begitu, ada yang amat ekstrem dalam pegangannya sehinggakan menyesatkan imam-imam terdahulu yang berada dalam lingkungan ratusan tahun.
Semoga pembaca membuat pertimbangan dan terbuka berkaitan isu ini. Pada saya berpegang pada tauhid susunan dan huraian orang yang dekat dengan Rasulullah SAW (al-'ali) lebih selamat dari berpegang kepada tauhid orang terkemudian dan sekarang yang kelihatan cacar marba metodenya dan bertaklid dengan orang-orang baru (al-nazil).
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari kesesatan dan menganugerahkan kita jalan yang lurus.
Sumber : Utusan Malaysia
Bacaan Tambahan :
Ulamak-ulamak Asya'iroh

Aqidah Al Azhar Oleh Dr Yusof al Qardhawi
http://jomfaham.